Kamis, 20 Oktober 2011

Paradoks Perbatasan Negara


Isu pergeseran patok-patok perbatasan antara Indonesia dan Malaysia kembali jadi keprihatinan publik. Media massa secara konstan menyoroti permasalahan lemahnya kedaulatan NKRI di perbatasan, melihat negara tetangga Malaysia dengan curiga, serta mengonstruksi masyarakat perbatasan sebagai warga yang loyalitas dan komitmen kebangsaannya patut dipertanyakan.
Tulisan ini ingin meninjau secara kritis apa yang dipahami oleh negara tentang perbatasannya sendiri dan mengidentifikasi kontradiksi inheren dari dua realitas yang sulit dipertemukan: realitas kartografis yang kaku di satu sisi dan realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis di sisi yang lain. Pemahaman paradoks ini jadi penting bagi alternatif pembangunan wilayah perbatasan sebagai ’halaman depan’ yang lebih bermakna, manusiawi, dan substantif.
Realitas kartografis
Realitas kartografis adalah pengetahuan yang terbentuk karena kekuatan visual sebuah peta. Perbatasan lahir sebagai garis-garis imajiner di atas peta yang diproyeksikan di atas morfologi alam, yang dalam kehidupan nyata sebenarnya tidak dapat ditaklukkan dengan mudah.
Sebagai instrumen legal, peta mengandung dimensi legal-formal-politis yang melihat wilayah negara sebagai sesuatu yang ajek, statis, dan tak dapat ditawar. Dimensi legalitas ruang ini jadi landasan sakral bagi eksistensi suatu negara. Tanpa wilayah yang jelas, negara tidak dapat menunjukkan siapa yang menjadi subyek kewarganegaraannya, mana batas kekayaan alamnya, maupun mana batas kedaulatannya.
Salah satu kelemahan pengetahuan berbasis realitas kartografis bahwa alam dan kondisi sosial direduksi sebagai ruang statis dan seolah tak bernyawa. Titik-titik permukiman kampung pada peta tidak dapat berbicara tentang mobilitas, ulayat, maupun orientasi ruang masyarakat setempat. Batas-batas administratif tak dapat menangkap batas-batas budaya. Garis-garis sungai maupun poligon laut tidak dapat menjelaskan arah pergerakan fauna di dalamnya.
Peta dengan mudah melahirkan ilusi tentang koherensi dan keseragaman yang seolah-olah mudah ditata, direkayasa, dan dikuasai. Peta jugalah yang memperkuat delusi dan rasa percaya diri bahwa negara memiliki kedigdayaan dan koherensi ruang.
Para aparat negara telah terlatih untuk mengawal perbatasan negara berdasarkan pengetahuan kartografis ini. Negara tidak menyiapkan aparatnya saat berhadapan dengan irregularitas alam di perbatasan, batas-batas sosial yang ternyata cair, logika dan praksis ruang masyarakat perbatasan yang lebih kosmopolit, maupun mobilitas lintas-batas realitas perbatasan yang lebih responsif dan fleksibel terhadap interkoneksitas global.
Berbeda dengan pusat negara, wilayah perbatasan menjadi situs di mana persoalan nasionalisme jadi hitam-putih. Pemakaian uang ringgit di perbatasan dilihat sebagai tindakan a-nasionalistis. Isu pergeseran patok-patok perbatasan, hal yang sebenarnya abstrak bagi sebagian besar publik yang jauh dari perbatasan, mampu membangkitkan emosi nasionalisme yang militan.
Dalam logika kartografis, orang Malaysia berbeda dengan orang Indonesia, terlepas dari fakta banyak komunitas di perbatasan masih berkeluarga atau beretnis sama dengan mereka yang di Malaysia. Sesuatu yang berbeda selalu dilihat sebagai ancaman dan nasionalisme tidak mengenal ambivalensi.
Realitas sosial-budaya
Sementara realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis dan cair dilihat dari sudut pandang negara seolah-olah hadir tanpa keteraturan. Alam Kalimantan di perbatasan sepanjang lebih kurang 1.800 kilometer terdiri dari pegunungan, perbukitan, dan hutan primer yang sulit ditaklukkan, bahkan dipetakan. Berbagai patok perbatasan semen yang dibuat pemerintah selama 1970-an telah hilang tak berbekas karena ’dikalahkan’ oleh alam, seperti tertutup semak belukar, terkubur humus, atau retak karena desakan akar pohon.
Komunitas-komunitas masyarakat di pedalaman telah ratusan tahun beradaptasi dengan kondisi ekologi setempat. Pola mobilitas seperti perpindahan kampung, siklus perladangan gilir balik maupun pemanfaatan hasil hutan, budaya merantau untuk menukar hasil hutan dengan komoditas pantai, dan orientasi sosial berbasis sungai adalah hasil adaptasi banyak kelompok etnis Dayak yang sering kali dipandang negatif oleh negara.
Terdapat banyak bukti bahwa orientasi ruang masyarakat perbatasan ke luar NKRI bukanlah karena ’lunturnya rasa nasionalisme’ atau ’daya tarik negara tetangga’, tetapi justru terbentuk karena formasi alam yang menentukan keberlangsungan hidup sebuah komunitas. Mobilitas manusia sering terbentuk karena rantai komoditas yang selalu mencari jalur terpendek dari daerah suplai ke pasar, terlepas apakah formasi alam ini ’patuh’ pada teritorialitas negara atau tidak.
Penelusuran sejarah proses terciptanya perbatasan formal antara Indonesia dan Malaysia membawa kita pada logika pragmatis di belakang kebijakan pemerintah kolonial Inggris dan Belanda. Ketika garis perbatasan ditetapkan melalui Konvensi London, Juni 1891, para perunding sadar, garis yang mereka tetapkan masih bersifat tentatif.
Selama tahun 1920-an, Inggris dan Belanda menyadari, penetapan garis batas di atas alam Kalimantan yang begitu bervariasi tidaklah mudah dan beberapa penyesuaian lokal disepakati. Ini ilustrasi bahwa pada era kolonial, persoalan perbatasan bisa didekati secara pragmatis, lokal, dan bisa disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat. Ini sesuatu yang bisa jadi pelajaran bagi perumusan kebijakan pembangunan perbatasan ke depan.
Halaman depan yang baru
Paradoks perbatasan negara yang dibahas di atas menunjukkan bahwa ideologi atau pemahaman ruang berbasis kartografis menyulitkan negara dalam melihat persoalan perbatasan dengan jernih. Sebuah looking glass yang menyulitkan negara dalam memahami kompleksitas perbatasan yang memiliki logika ruangnya sendiri. Menjadi ironi ketika Belanda dan Inggris, sebagai pihak yang ’mengarang’ perbatasan Indonesia-Malaysia, tidak memperlakukan perbatasan secara sakral seperti Indonesia-Malaysia yang mewarisinya.
Wacana alternatif yang melihat perbaikan pelayanan sosial di perbatasan sebagai kunci penguatan keindonesiaan perlu diperkuat. Negara perlu memikirkan ulang definisi maupun metodologi pendekatan yang senantiasa melihat perbatasan secara hitam-putih, absolut, dan totalitarian. Pemahaman tentang dinamisme wilayah perbatasan akan jadi dasar yang kuat bagi formulasi kebijakan perbatasan yang manusiawi, sesuai kebutuhan masyarakat perbatasan.
Wilayah perbatasan hendaknya tak lagi diperlakukan sebagai ruang demarkatif, tetapi harus ruang antarmuka sosial di mana kosmopolitanisme masyarakat perbatasan hendaknya dilihat sebagai kekuatan untuk membangun halaman muka NKRI yang sejahtera dan kosmopolit. Ini adalah ’benteng’ nasionalisme yang lebih substantif ketimbang pendekatan yang parokial, dogmatis, didaktik, dan kosmetik.
Oleh: Dave Lumenta Pemerhati Sejarah Sosial Perbatasan; Pengajar pada Departemen Antropologi, FISIP UI

Warga Perbatasan Kaltim Sering Dipukul Tentara Malaysia

Warga pedalaman Kalimantan Timur di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, kerap mendapat perlakuan tidak pantas bahkan dipukul oleh oknum tentara Malaysia di Bakalalan, Sarawak, yang berbatasan dengan perkampungan mereka.

Carolus Tuah, Direktur Eksekutif Pokja 30, yang aktif melakukan advokasi HAM dan antikorupsi di Samarinda, Selasa (18/10/2011), mengaku, banyak kasus kekerasan dan tindakan intimidasi menimpa warga Krayan yang didominasi etnis Dayak Lundaya.

Daerah tersebut terisolasi dan masyarakat setempat hanya memiliki akses berbelanja ke Bakalalan dan Bario di Sarawak. Krayan hanya bisa dijangkau dengan pesawat terbang perintis.

Terhadap informasi tersebut, Menteri Pertahanan Malaysia Dato' Seri Ahmad Zahid Hamidi dalam jumpa pers, Senin (17/10/2011), terkait patok perbatasan di Jakarta, meminta bukti konkret kalau ada penganiayaan terhadap WNI oleh oknum tentara Malaysia di Bakalalan.

"Silakan sebutkan siapa nama pelaku, pangkat, dan kapan peristiwa kekerasan terjadi. Saya tidak akan memberi toleransi dan akan langsung mengambil tindakan," kata Menhan Malaysia.

Pingsan dipukul
Dihubungi terpisah, Camat Krayan Samuel ST Padan mengaku, kekerasan yang terakhir berupa pemukulan hingga pingsan terjadi pada warga bernama Lepinus.

"Dia pulang belanja di Bakalalan, kemudian diajak ke warung oleh oknum askar Malaysia. Sewaktu dia pergi, tiba-tiba dikejar lalu dipukul sampai pingsan oleh oknum askar (tentara dalam bahasa Melayu). Dia divisum di Puskesmas Krayan, selanjutnya dibawa ke Rumah Sakit di Tarakan. Sampai sekarang tidak jelas kasusnya," kata Samuel.

Samuel mengaku sudah mengirim surat resmi ke Bupati Nunukan (ketika itu dijabat Achmad Hafidz). Namun, sampai kini tidak jelas kelanjutan penanganan kasus itu. Carolus Tuah yang asli pedalaman Kalimantan Timur mengaku, kasus kekerasan kerap menimpa warga pelintas batas tradisional ke Sarawak.

"Biasanya pelaku bukanlah askar tempatan (prajurit warga lokal Sabah atau Sarawak). Yang biasa berlaku keras adalah oknum askar dari Semenanjung," kata Tuah.

Selama ini, pos perbatasan resmi tidak kunjung dibangun oleh Pemerintah Indonesia di Long Bawan-Bakalalan sejak terakhir Kompas berkunjung ke Krayan tahun 2003. Padahal, daerah tersebut memiliki produk unggulan beras organik padi adan yang dijual di Malaysia sebagai beras Bakalalan dan juga dikonsumsi Sultan Brunei.

Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Kaltim Adri Paton yang dihubungi mengatakan, untuk membuka isolasi, tahun depan landasan di Bandara Datah Dawai, Kabupaten Kutai Barat, Long Nawang, di Kabupaten Malinau dan Long Bawan di Kabupaten Nunukan akan diperpanjang.

"Kita juga berharap ada pos perbatasan resmi seperti di Long Bawan untuk memudahkan masyarakat beraktivitas," ujar Paton. Paton enggan berkomentar soal keluhan warga atas tindak kekerasan yang dilakukan oknum tentara Malaysia di Bakalalan.

http://regional.kompas.com/read/2011/10/18/08173751/Warga.Perbatasan.Kaltim.Sering.Dipukul.Tentara.Malaysia

Rabu, 19 Oktober 2011

Warga Perbatasan "Caplok" Wilayah Malaysia

JAKARTA -- Jika belum lama ini ramai diisukan ada wilayah RI di perbatasan Camar Bulan yang dicaplok Malaysia, yang terjadi ternyata malah sebaliknya. Berdasarkan hasil investigasi di lapangan oleh tim Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), justru wilayah Malaysia yang "dicaplok" oleh warga RI di perbatasan di Camar Bulan.

Kapuspen Kemendagri, Reydonnyzar Moenek menjelaskan, temuan tersebut merupakan hasil pengecekan lapangan oleh tim BNPP yang dilakukan 13 hingga 15 Oktober 2011. Tim datang untuk mengecek isu yang berkembang bahwa ada warga desa Temajuk yang menggarap lahan yang masuk wilayah Malaysia.

"Dan ternyata, berdasarkan hasil pengecekan, terdapat hampir 140 orang peladang warga desa Temajuk yang menggarap lahan kurang lebih 160 hektar di wilayah Malaysia. Tepatnya di segmen luar A88 hingga A156 dan selama ini pihak Malaysia tidak mempersoalkan hal tersebut," terang Reydonnyzar kepada wartawan di kantornya, Rabu (19/10).

Bahkan, kata Donny, salah satu peladang, yang bernama Nurmali, membangun satu unit rumah di wilayah Malaysia itu. Tim BNPP disertai tim dari Bakorsurtanal dan staf Kantor Topografi Daerah Militer Tanjungpura.

Empat isu lain yang dicek, yakni pertama, isu abrasi pantai Camar Bulan. Hasilnya, posisi pilar A1 di Tanjung Datu, meski kena abrasi, masih ditemukan bekas pondasi meski pada saat air pasang, tertutup air. Setelah dicek berdasarkan titik koordinat, pada bekas pilar masih sesuai dengan titik koordinat hasil kesepakatan RI-Malaysia berdasar MoU 1978. "Jadi tidak benar ada pencaplokan," ujar Donny.

Kedua, isu pergeseran suar yang ada di titik A4 ternyata tak terjadi pergeseran. Suar Indonesia yang dibangun Belanda 1908 dan suar yang dibangun RI 2007, masih sangat bagus dan berfungsi, dengan dijaga lima petugas Direktorat Navigasi Kemenhub. Sedang Malaysia sudah membangun dua suar.

Ketiga, tidak ada pergeseran pilar A104. Keempat, isu abrasi Camar Bulan yang dikhawatirkan terjadi pengikisan daratan hingga pilar A104. Setelah dicek, ternyata ombak tak begitu besar dan pantai landai, sehingga tak akan sampai terjadi abrasi. (sam/jpnn) http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=106066

Minggu, 16 Oktober 2011

Jaga Kedaulatan, Warga Bangun Rumah Indonesia di Perbatasan

Metrotvnews.com, Sambas: Rasa nasionalisme yang tertanam di hati warga Indonesia diwujudkan dengan tindakan. Sejumlah warga dari Dusun Camar Bulan dan Tanjung Datuk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Ahad (16/10), mendirikan rumah merah putih, tepat di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.

Rumah yang berukuran 2x2 meter persegi dan berdinding kayu serta beratap daun itu didirikan warga di tapal batas Dusun Camar Bulan. Hal itu dilakukan warga agar batas wilayah Camar Bulan tidak diklaim Malaysia. Selain itu, rumah itu sengaja dibuat sebagai penegasan perbatasan.

Warga mengaku akan tetap berjuang mempertahankan batas wilayah dari ancaman klaim Malaysia. Namun, dengan keterbatasan yang mereka alami, warga berharap agar pemerintah pusat lebih serius memperhatikan warga perbatasan.(****) Metrotvnews

Nunukan Daerah Perbatasan

Kabupaten Nunukan merupakan salah satu wilayah perbatasan strategis karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Kabupaten ini memiliki luas sekitar 13.9017,17 km2 terdiri atas sembilan kecamatan yaitu :  Kecamatan krayan, Krayan Selatan, lumbis, sembakung, Sebuku, Nunukan, Nunukan Selatan, Sebatik dan Sebatik Barat serta terletak pada 115° 22’ 30” – 118° 44’ 54 “BT dan 3° 30‘ 00” – 4°24’55” LU dengan batas-batas wilayah sebelah utara Negara bagian Sabah (Malaysia) dan sebelah selatan Kabupaten bulungan dan Malinau. Sebelah Timur Laut Sulawesi dan sebelah barat negara bagian serawak (Malayisa).
Kabupaten Nunukan mempunyai komoditas unggulan berupa; Kakao (coklat), Padi Adan, Kelapa Sawit, Ikan laut dan ikan tambak. Garam gunung dan Wisata alam. Dengan permasalahan khas wilayah perbatasan yang meliputi; Rendahnya aksesibilitas antar wilayah di perbatasan;Timpangnya pembagunan antar wilayah yang berbatasan lamgsung dengan Negara tetangga;Rawan terhadap kegiatan Illegal Logging, Fishing, Traficking dan penyelundupan Narkoba ataupun bahan berbahaya lainnya; Masih minimnya sarana dasar, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik dan telekomunikasi dan  Kondisi geografis yang berbukit-bukit, sangat menghambat proses pembangunan prasarana wilayah.
Starategi Pembangunan Kabupaten Nunukan, meliputi;Pembangunan infrastruktur, terutama program yang mendukung peningkatan perekonomian dan sumberdaya manusia di wilayah pedesaan, pedalaman dan perbatasan;Revitalisasi Pertanian, yaitu melalui pengembangan sector-sektor pertanian unggulan; Peningkatan akses masyarakat terhadap  pendidikan dan kesehatan yang berkualitas; Penanggulangan kemiskinan, melalui peningkatan pelayanan dasar, seperti pangan, perumahan, kelistrikan dan air bersih;
Peningkatan pemberdayaan masyarakat  pedesaan, pedalaman dan perbatasan serta peningkatan kelembagaan ekonomi masyarakat dan Peningkatan Kinerja Birokrasi Pemerintah sehingga pelayanan prima yang diharapkan oleh seluruh masyarakat dapat segera terwujud.
Dengan prioritas, melaksanakan; Pembangunan perkebunan kepala sawit, Pengembangan dan perluasan percetakan sawah;  Pembangunan infrastruktur wilayah, terutama pembangunan sarana transportasi jalan; Peningkatan akses palayanan dasar, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan; listrk dan air bersih;Pengembangan Kota Baru perbatasan di Simenggaris;Pembangunan Pos Lintas Batas Darat dan Laut (PLBD dan PLBL); Pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Nunukan dengan wilayah di daratan Pulau Kalimantan dan  Pemberdayaan masyarakat perbatasan, melalui bantuan permodalan usaha dan pelatihan keterampilan usaha.

Tanah Surga Katanya

Nunukan


Lihat Kabupaten Nunukan di peta yang lebih besar