Sabtu, 19 November 2011

Strategi Pengembangan Perbatasan Wilayah Kedaulatan RI

Perbatasan negara merupakan manifestasi utama kedaulatan wilayah suatu negara. Perbatasan suatu negara mempunyai peranan penting dalam penentuan batas wilayah kedaulatan, pemanfaatan sumber daya alam, menjaga keamanan dan keutuhan wilayah. Penentuan perbatasan negara dalam banyak hal ditentukan oleh proses historis, politik, hukum nasional dan internasional. Dalam konstitusi suatu negara sering dicantumkan pula penentuan batas wilayah.
Pembangunan wilayah perbatasan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Wilayah perbatasan mempunyai nilai strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan nasional, hal tersebut ditunjukkan oleh karakteristik kegiatan antara lain :
  1. Mempunyai dampak pentingbagi kedaulatan negara.
  2. Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
  3. Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan dengan wilayah maupun antar negara.
  4. Mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, baik skala regional maupun nasional.
Ketahanan wilayah perbatasan perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh karena kondisi tersebut akan mendukung ketahanan nasional dalam kerangka NKRI.
Keamanan wilayah perbatasan mulai menjadi concern setiap pemerintah yang wilayah negaranya berbatasan langsung dengan negara lain. Kesadaran akan adanya persepsi wilayah perbatasan antar negara telah mendorong para birokrat dan perumus kebijakan untuk mengembangkan suatu kajian tentang penataan wilayah perbatasan yang dilengkapi dengan perumusan sistem keamanannya. Hal ini menjadi isu strategis karena penataan kawasan perbatasan terkait dengan proses nation state building terhadap kemunculan potensi konflik internal di suatu negara dan bahkan pula dengan negara lainnya (neighbourhood countries). Penanganan perbatasan negara, pada hakekatnya merupakan bagian dari upaya perwujudan ruang wilayah nusantara sebagai satu kesatuan geografi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan (Sabarno, 2001) .
Kondisi Daerah Perbatasan Saat Ini
Pada umumnya daerah pebatasan belum mendapat perhatian secara proporsional. Kondisi ini terbukti dari kurangnya sarana prasarana pengamanan daerah perbatasan dan aparat keamanan di perbatasan. Hal ini telah menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan seperti, perubahan batas-batas wilayah, penyelundupan barang dan jasa serta kejahatan trans nasional (transnational crimes). Kondisi umum daerah perbatasan dapat dilihat dari aspek Pancagatra yaitu :
  • Aspek Ideologi.
Kurangnya akses pemerintah baik pusat maupun daerah ke kawasan perbatasan dapat menyebabkan masuknya pemahaman ideologi lain seperti paham komunis dan liberal kapitalis, yang mengancam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dari rakyat Indonesia. Pada saat ini penghayatan dan peng-amalan Pancasila sebagai ideologi negara dan falsafah hidup bangsa tidak disosialisasikan dengan gencar seperti dulu lagi, karena tidak seiramanya antara kata dan perbuatan dari penyelenggara negara. Oleh karena itu perlu adanya suatu metoda pembinaan ideologi Pancasila yang terus-menerus, tetapi tidak bersifat indoktrinasi dan yang paling penting adanya keteladanan dari para pemimpin bangsa.
  • Aspek Politik.
Kehidupan sosial ekonomi di daerah perbatasan umumnya dipengaruhi oleh kegiatan di negara tetangga. Kondisi tersebut berpotensi untuk mengundang ke-rawanan di bidang politik, karena meskipun orientasi masyarakat masih terbatas pada bidang ekonomi dan sosial, terutama apabila kehidupan ekonomi masyarakat daerah perbatasan mempunyai
ketergantungan kepada perekonomian negara tetangga, maka hal inipun selain dapat menimbulkan kerawanan di bidang politik juga dapat menurunkan harkat dan martabat bangsa. Situasi politik yang terjadi di negara tetangga seperti Malaysia (Serawak & Sabah) dan Philipina Selatan akan turut mempengaruhi situasi keamanan daerah perbatasan.
  • Aspek Ekonomi.
Daerah perbatasan merupakan daerah tertinggal (terbelakang) disebabkan antara lain :
  1. Lokasinya yang relatif terisolir (terpencil) dengan tingkat aksesibilitas yang rendah.
  2. Rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat.
  3. Rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan (jumlah penduduk miskin dan desa tertinggal).
  4. 4) Langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan masyarakat di daerah perbatasan (blank spot).
Kesenjangan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat dan berdampak negatif bagi pengamanan daerah perbatasan dan rasa nasionalisme. Maka tidak jarang daerah perbatasan sebagai pintu masuk atau tempat transit pelaku kejahatan dan teroris.
  • Aspek Sosial Budaya.
Akibat globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat, teknologi informasi dan komunikasi terutama internet, dapat mempercepat masuk dan berkembangnya budaya asing ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pengaruh budaya asing tersebut banyak yang tidak sesuai dengan kebudayaan kita, dan dapat merusak ketahanan nasional, karena mempercepat dekulturisasi yang bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Masyarakat daerah perbatasan cenderung lebih cepat terpengaruh oleh budaya asing, dikarenakan intensitas hubungan lebih besar dan kehidupan ekonominya sangat tergantung dengan negara tetangga.
  • Aspek Pertahanan dan Keamanan.
Daerah perbatasan merupakan wilayah pembinaan yang luas dengan pola penyebaran penduduk yang tidak merata, sehingga menyebabkan rentang kendali pemerintah, pengawasan dan pembinaan teritorial sulit dilaksanakan dengan mantap dan efisien. Seluruh bentuk kegiatan atau aktifitas yang ada di daerah perbatasan apabila tidak dikelola dengan baik akan mempunyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, di tingkat regional maupun internasional baik secara langsung dan tidak langsung. Daerah perbatasan rawan akan persembunyian kelompok GPK, penyelundupan dan kriminal lainnya termasuk terorisme, sehingga perlu adanya kerjasama yang terpadu antara instansi terkait dalam penanganannya.

Permasalahan Yang Dihadapi
Penanganan perbatasan selama ini memang belum dapat dilakukan secara optimal dan kurang terpadu, serta seringkali terjadi tarik-menarik kepentingan antara berbagai pihak baik secara horizontal, sektoral maupun vertikal. Lebih memprihatinkan lagi keadaan masyarakat sekitar daerah perbatasan negara, seperti lepas dari perhatian dimana penanganan masalah daerah batas negara menjadi domain pemerintah pusat saja, pemerintah daerahpun menyampaikan keluhannya, karena merasa tidak pernah diajak serta masyarakatnya tidak mendapat perhatian. Merekapun bertanya siapa yang bertanggung jawab dalam membina masyarakat di perbatasan ? Siapa yang harus menyediakan, memelihara infrastruktur di daerah perbatasan, terutama daerah yang sulit dijangkau, sementara mereka tidak tahu dimana batas-batas fisik negaranya ?

Kenyataan di lapangan ditemukan banyak kebijakan yang tidak saling mendukung dan/atau kurang sinkron satu sama lain. Dalam hal ini, masalah koordinasi yang kurang mantap dan terpadu menjadi sangat perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Koordinasi dalam pengelolaan kawasan perbatasan, sebagaimana hendaknya melibatkan banyak instansi (Departemen/LPND), baik instansi terkait di tingkat pusat maupun antar instansi pusat dengan pemerintah daerah. Misalnya, belum terkoordinasinya pengembangan kawasan perbatasan antar negara dengan kerjasama ekonomi sub regional, seperti yang ditemui pada wilayah perbatasan antara Malaysia Timur dengan Kalimantan dengan KK Sosek Malindo dan BIMP-EAGAnya, serta dengan rencana pengembangan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Sanggau di Kalimantan Barat dan KAPET SASAMBA di Kalimantan Timur yang secara konseptual dan operasional perlu diarahkan dan dirancang untuk menumbuhkan daya saing, kompabilitas dan komplementaritas dengan wilayah mitranya yang ada di negara tetangga.

Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan, komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas yang lebih tinggi dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi kesejahteraan/pembangunan (prosperity/development approach). Dengan adanya reorientasi ini diharapkan penanganan pembangunan kawasan perbatasan di Kalimantan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut :
  1. a) Pendekatan keamanan yang diterapkan Mabes TNI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun berbeda namun diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan pembangunan.
  2. b) Penanganan KK Sosek Malindo selama ini ternyata tidak tercipta suatu keterkaitan (interface) dengan program pengembangan kawasan dan kerjasama ekonomi regional seperti BIMP-EAGA, yang sebenarnya sangat relevan untuk dikembangkan secara integrative dan komplementatif dengan KK Sosek Malindo.
  3. c) Terkait dengan beberapa upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan kawasan perbatasan antar negara, khususnya di Kalimantan dengan KK Sosek Malindonya, diperlukan pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan kawasan perbatasan tersebut melalui penanganan yang bersifat lintas sektor dan lintas pendanaan.

Isu pengembangan daerah perbatasan lainnya secara umum diilustrasikan sebagai berikut :
  1. Kaburnya garis perbatasan wilayah negara akibat rusaknya patok-patok di perbatasan Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur menyebabkan sekitar 200 hektare hutan wilayah Republik Indonesia berpindah masuk menjadi wilayah Malaysia (Media Indonesia, 21 Juni 2001). Ancaman hilangnya sebagian wilayah RI di perbatasan Kalimantan Barat dengan Malaysia Timur akibat rusaknya patok batas negara setidaknya kini menjadi 21 patok yang terdapat di Kecamatan Seluas, kabupaten Bengkayang, memerlukan perhatian. Selain di Kabupaten Bengkayang, kerusakan patok-patok batas juga terjadi di wilayah Kabupaten Sintang dan Kapuas Hulu, masing-masing berjumlah tiga dan lima patok (Media Indonesia, 23 Juni 2001).
  2. Pengelolaan sumber daya alam belum terkoordinasi antar pelaku sehingga memungkinkan eksploitasi sumber daya alam yang kurang baik untuk pengembangan daerah dan masyarakat. Misalnya, kasus illegal lodging yang juga terkait dengan kerusakan patok-patok batas yang dilakukan untuk meraih keuntungan dalam penjualan kayu. Depertemen Kehutanan pernah menaksir setiap bulannya sekitar 80.000-100.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan Timur dan sekitar 150.000 m3 kayu ilegal dari Kalimantan barat masuk ke Malaysia (Kompas, 20 Mei 2001).
  3. Kepastian hukum bagi suatu instansi dalam operasionalisasi pembangunan di wilayah perbatasan sangat diperlukan agar peran dan fungsi instansi tersebut dapat lebih efektif. Contohnya, Perum Perhutani yang ditugasi Pemerintah untuk mengelola HPH eks PT. Yamaker di perbatasan Kalimantan-Malaysia baru didasari oleh SK Menhut No. 3766/Kpts-II/1999 tanggal 27 Mei 1999, namun tugas yang dipikul Perhutani meliputi menata kembali wilayah perbatasan dalam rangka pelestarian sumber daya alam, perlindungan dan pengamanan wilayah perbatasan dan pengelolaan hutan dengan sistem tebang pilih . Tugas ini bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah sehingga diperlukan dasar hukum yang lebih tinggi.
  4. Pengelolaan kawasan lindung lintas negara belum terintegrasi dalam program kerja sama bilateral antara kedua negara, misalnya keberadaan Taman Nasional Kayan Mentarang yang terletak di Kabupaten Malinau dan Nunukan, di sebelah Utara Kalimantan Timur, sepanjang perbatasan dengan Sabah Malaysia, seluas 1,35 juta hektare. Taman ini merupakan habitat lebih dari 70 spesies mamalia, 315 spesies unggas dan ratusan spesies lainnya.
  5. Kawasan perbatasan mempunyai posisi strategis yang berdampak terhadap hankam dan politis mengingat fungsinya sebagai outlet terdepan Indonesia, dimana terjadi banyak pelintas batas baik dari dan ke Indonesia maupun Malaysia. Ancaman di bidang hankam dan politis ini perlu diperhatikan mengingat kurangnya pos lintas batas legal yang disepakati oleh kedua belah pihak, misalnya di Kalimantan Barat dengan Serawak/Sabah hanya ada 2 pos lintas batas legal dari 16 pos lintas batas yang ada.
  6. Kemiskinan akibat keterisolasian kawasan menjadi pemicu tingginya keinginan masyarakat setempat menjadi pelintas batas ke Malaysia berlatar belakang untuk memperbaiki perekonomian masyarakat mengingat tingkat perekonomian Malaysia lebih berkembang.
  7. Kesenjangan sarana dan prasarana wilayah antar kedua wilayah negara pemicu orientasi perekonomian masyarakat, seperti di Kalimantan, akses keluar (ke Malaysia) lebih mudah dibandingkan ke ibukota kecamatan/kabupaten di wilayah Kalimantan.
  8. Tidak tercipta keterkaitan antar kluster social ekonomi baik kluster penduduk setempat maupun kluster binaan pengelolaan sumber daya alam di kawasan, baik keterkaitan ke dalam maupun dengan kluster pertumbuhan di negara tetangga.
  9. Adanya masalah atau gangguan hubungan bilateral antar negara yang berbatasan akibat adanya peristiwa-peristiwa baik yang terkait dengan aspek ke-amanan dan politis, maupun pelanggaran dan eksploitasi sumber daya alam yang lintas batas negara, baik sumber daya alam darat maupun laut.

Berdasarkan isu strategis dalam pengelolaan daerah perbatasan negara selama ini, dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang menonjol di daerah perbatasan sebagai berikut :
  1. Belum adanya kepastian secara lengkap garis batas laut maupun darat.
  2. Kondisi masyarakat di wilayah perbatasan masih tertinggal, baik sumber daya manusia, ekonomi maupun komunitasnya.
  3. Beberapa pelanggaran hukum di wilayah perbatasan seperti penyelundupan kayu/illegal lodging, tenaga kerja dan lain-lain.
  4. Pengelolahan perbatasan belum optimal, meliputi kelembagaan, kewenangan maupun program.
  5. Eksploitasi sumber daya alam secara ilegal, terutama hasil hutan dan kekayaan laut.
  6. Munculnya pos-pos lintas batas secara ilegal yang memperbesar terjadinya out migration, “economic asset” secara ilegal.
  7. Mental dan professional aparat (stake holders di pusat dan daerah serta aparat keamanan di pos perbatasan).

Perkembangan Lingkungan Strategis
Masalah perbatasan tidak terlepas dari perkembangan lingkungan strategis baik internasional, regional maupun nasional. Dalam era globalisasi, dunia makin terorganisasi dan makin tergantung satu sama lain serta saling membutuhkan. Konsep saling keterkaitan dan ketergantungan dalam masyarakat internasional berpengaruh dalam bidang-bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamananan. Berbagai negara sambil tetap mempertahankan identitas serta batas-batas teritorial negaranya, mereka membuka semua hambatan fisik, administrasi dan fiskal yang membatasi gerak lalu lintas barang dan orang.
Perkembangan kerjasama ASEAN diharapkan akan dapat menciptakan keterbukaan dan saling pengertian sehingga dapat dihindarkan terjadinya konflik perbatasan. Hal ini didukung oleh semakin meningkatnya hubungan masyarakat perbatasan baik dari sudut sosial budaya maupun ekonomi. Dalam era reformasi dan dengan kondisi kritis yang masih berkepenjangan, penanganan masalah perbatasan belum dapat dilakukan secara optimal.

Strategi Pengembangan Daerah Perbatasan
Penyusunan Peraturan Perundang-undangan. Konsepsi peng-elolaan perbatasan negara merupakan “titik temu” dari tiga hal penting yang harus saling bersinergi, yaitu:
  1. Politik Pemerintahan Indonesia untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dalam wadah NKRI.
  2. Pelaksanaan otonomi daerah yang bertujuan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama masyarakat di daerah-daerah.
  3. Politik luar negeri yang bebas-aktif dalam rangka mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Oleh sebab itu dalam penyusunan peraturan perundang-undangan harus selalu memperhatikan dan berdasarkan tiga hal tersebut di atas.

Pembentukan Kelembagaan Khusus menangani Masalah Perbatasan. Persoalan pengelolaan perbatasan negara sangat kompleks dan urgensinya terhadap integritas negara kesatuan RI,sehingga perlu perhatian penuh pemerintah terhadap penanganan hal-hal yang terkait dengan masalah perbatasan, baik antar negara maupun antar daerah. Pengelolaan perbatasan antar negara masih bersifat sementara (ad-hoc) dengan leading sektor dari berbagai instansi terkait. Pada saat ini, lembaga-lembaga yang menangani masalah perbatasan antar negara tetangga adalah:
  1. General Border Committee RI-PNG diketuai oleh Panglima TNI.
  2. Join Border Committee RI-PNG (JBC) diketuai oleh Menteri Dalam Negeri.
  3. Join Border Committee RI-UNTAET (Timtim) diketuai oleh Dirjen Pemerintah Umum Departemen Dalam Negeri.
  4. Join Commisison Meeting RI – Malaysia (JCM) diketuai oleh Departemen Luar Negeri yang sifatnya kerjasama bilateral.
Dalam penanganan masalah perbatasan agar dapat berjalan secara optimal perlu dibentuk lembaga yang dapat berbentuk :
Forum/setingkatDewan dengan keanggotaan terdiri dari pimpinan Institusi terkait. Dewan dibantu oleh sekretariat Dewan. Bentuk ini mempunyai kelebihan dan penyelesaian masalah lebih terpadu dan hasilnya lebih maksimal, karena didukung oleh instansi terkait. Sedangkan kelemahannya tidak operasional, keanggotaan se-ring berganti-ganti, sehingga kurang terjadi adanya kesinambungan kegiatan.
Badan (LPND) yang mandiri terlepas dari institusi lain dan langsung di bawah presiden. Bentuk ini mempunyai kelebihan bersifat otonom, hasil kebijakannya bersifat operasional dan personil terdiri dari sumber daya manusia yang sesuai dengan bidang kerjanya. Sedangkan kelemahannya dapat terjadi pengambil-alihan sektor, sehingga kebijakan yang ditetapkan kurang didukung oleh sektor terkait.
Mewujudkan sabuk pengaman (koridor). Dalam menjaga kedaulatan Negara dan keamanan. Untuk lebih mewujudkan keamanan negara RI Khususnya di wilayah perbatasan dengan negara tetangga perlu diciptakan sabuk pengaman yang berfungsi sebagai sarana kontrol dimulai dari titik koordinat ke arah tertentu sepanjang perbatasan.
Penyusunan Program Secara Komprehensif dan Integral. Penyusunan program secara integral dan komprahensif dalam hal ini melibatkan sektor-sektor yang terkait dalam masalah penanganan perbatasan, seperti masalah kependudukan, lalu lintas barang/perdagangan, kesehatan, ke-amanan, konservasi sumber daya alam.
Penataan batas negara dalam upaya memperkokoh keutuhan integritas NKRI. Penataan batas seperti yang telah diuraikan di atas berupa batas fisik baik batas alamiah ataupun buatan. Dengan kejelasan batas-batas tersebut akan memperjelas kedaulatan fisik wilayah negara RI.
Pembangunan Ekonomi dan Percepatan Pertumbuhan Perekonomian Perbatasan Berbasis Kerakyatan. Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan ketahanan di daerah perbatasan. Kualitas sumber daya manusia ataupun tingkat kesejahteraan yang rendah akan mengakibatkan kerawanan terutama dalam hal yang menyangkut masalah sosial dan pada gilirannya dapat mengganggu stabilitas nasional secara keseluruhan. Oleh sebab itu perlu adanya peningkatan taraf hidup masyarakat di daerah perbatasan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam usaha pertumbuhan perekonomian perbatasan yang berbasis kerakyatan antara lain:
1) Potensi sumber daya alam setempat
2) Kelompok swadaya masyarakat.
Sedangkan bentuk usaha percepatan pertumbuhan perekonomian perbatasan yang berbasis kerakyatan antara lain:
Penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat adat/kelompok-kelompok swadaya masyarakt yang sudak ada.
Pemberdayaan, pendam-pingan dan penguatan peran serta perempuan dalam kegiatan perekonomian atau sosial.
Pengembangan wawasan kebangsaan masyarakat di kawasan perbatasan.
Menghidupkan peran lembaga keungan mikro dalam peningkatan pertumbuhan perekonomian.
Identifikasi potensi dan pengembangan sektor-sektor unggulan di daerah perbatasan.
Sistem Keamanan Perbatasan
Sistem keamanan perbatasan dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam penataan sistem ke-amanan perbatasan Indonesia dengan negara tetangga antara lain adalah Geografi, letak geografi Indonesia sangat strategis, karena berada di jalur perdagangan internasional. Hal-hal penting yang berkaitan dengan letak geografi antara lain :
Di wilayah laut, berbatasan dengan 10 negara (India,Malaysia, Singapura,Thailand, ietnam, Philipina, Palau, PNG, Australia,Timor Lorosae).
Di wilayah darat, berbatasan dengan 3 negara (Malaysia,PNG dan Timor Lorosae).
Jumlah pulau 17.508, panjang pantai 80.791 Km, luas wilayah termasuk ZEE 7,7 juta Km lautan 5,8 juta Km.
Perbandingan luas wilayah darat dan laut adalah 1 : 3.
b. Sumber kekayaan alam di perbatasan perlu mendapatkan pe-ngamanan/perhatian serius yang meliputi :
1) Potensi pertambangan umum/migas
2) Potensi kehutanan
3) Potensi kehutanan/perkebunan
4) Potensi perikanan
Penutup
Daerah perbatasan merupakan kawasan khusus sehingga dalam penangannya memerlukan pendekatan yang khusus pula. Hal ini disebabkan karena semua bentuk kegiatan atau aktifitas yang ada didarah perbatasan apabila tidak dikelola akan mem-punyai dampak terhadap kondisi pertahanan dan keamanan, ditingkat regional maupun internasional, baik secara langsung maupun tidak langsung. Permasalahan yang timbul sering dikarenakan adanya kesan jenjang sosial di dalam masyarakat, hal semacam inilah yang perlu untuk dihindari terutama bagi masyarakat di daerah perbatasan. Pena-nganan yang mungkin dilakukan adalah secara adat, tetapi apabila sudah menyangkut stabilitas dan keamanan nasional maka hal tersebut akan menjadi urusan pemerintah.

Oleh   Eddy MT. Sianturi, SSi dan Nafsiah, SP, Peneliti Puslitbang Strahan Balitbang Dephan

Daftar Pustaka
1. Depkimpraswil,2002, Strategi dan Konsepsi Pengembangan Kawasan Perbatasan Negara. Jakarta.
2. Mickael Andjioe, 2001, Pengelolaan PPLB Entikong Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat, http: //www. perbatasan. com
3. Pellindou P. Jack A., Ir., MM., 2002. Peningkatan Kerjasama Perbatasan Antar Negara Guna Memperlancar Arus Perdagangan di Daerah Frontier Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi Nasional. Lemhanas. Jakarta.
4. Pontianak Post, edisi 3 Juli 2002, Sehari, 200 Truk Kayu Ke Serawak via PLB Entikong, Pontianak.
5. Sabarno Hari, 2001, Kebijakan/Strategi Penataan Batas dan Pengembangan Wilayah Perbatasan, http: //www. perbatasan.com

Sumber; http://buletinlitbang.dephan.go.id

Kamis, 20 Oktober 2011

Paradoks Perbatasan Negara


Isu pergeseran patok-patok perbatasan antara Indonesia dan Malaysia kembali jadi keprihatinan publik. Media massa secara konstan menyoroti permasalahan lemahnya kedaulatan NKRI di perbatasan, melihat negara tetangga Malaysia dengan curiga, serta mengonstruksi masyarakat perbatasan sebagai warga yang loyalitas dan komitmen kebangsaannya patut dipertanyakan.
Tulisan ini ingin meninjau secara kritis apa yang dipahami oleh negara tentang perbatasannya sendiri dan mengidentifikasi kontradiksi inheren dari dua realitas yang sulit dipertemukan: realitas kartografis yang kaku di satu sisi dan realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis di sisi yang lain. Pemahaman paradoks ini jadi penting bagi alternatif pembangunan wilayah perbatasan sebagai ’halaman depan’ yang lebih bermakna, manusiawi, dan substantif.
Realitas kartografis
Realitas kartografis adalah pengetahuan yang terbentuk karena kekuatan visual sebuah peta. Perbatasan lahir sebagai garis-garis imajiner di atas peta yang diproyeksikan di atas morfologi alam, yang dalam kehidupan nyata sebenarnya tidak dapat ditaklukkan dengan mudah.
Sebagai instrumen legal, peta mengandung dimensi legal-formal-politis yang melihat wilayah negara sebagai sesuatu yang ajek, statis, dan tak dapat ditawar. Dimensi legalitas ruang ini jadi landasan sakral bagi eksistensi suatu negara. Tanpa wilayah yang jelas, negara tidak dapat menunjukkan siapa yang menjadi subyek kewarganegaraannya, mana batas kekayaan alamnya, maupun mana batas kedaulatannya.
Salah satu kelemahan pengetahuan berbasis realitas kartografis bahwa alam dan kondisi sosial direduksi sebagai ruang statis dan seolah tak bernyawa. Titik-titik permukiman kampung pada peta tidak dapat berbicara tentang mobilitas, ulayat, maupun orientasi ruang masyarakat setempat. Batas-batas administratif tak dapat menangkap batas-batas budaya. Garis-garis sungai maupun poligon laut tidak dapat menjelaskan arah pergerakan fauna di dalamnya.
Peta dengan mudah melahirkan ilusi tentang koherensi dan keseragaman yang seolah-olah mudah ditata, direkayasa, dan dikuasai. Peta jugalah yang memperkuat delusi dan rasa percaya diri bahwa negara memiliki kedigdayaan dan koherensi ruang.
Para aparat negara telah terlatih untuk mengawal perbatasan negara berdasarkan pengetahuan kartografis ini. Negara tidak menyiapkan aparatnya saat berhadapan dengan irregularitas alam di perbatasan, batas-batas sosial yang ternyata cair, logika dan praksis ruang masyarakat perbatasan yang lebih kosmopolit, maupun mobilitas lintas-batas realitas perbatasan yang lebih responsif dan fleksibel terhadap interkoneksitas global.
Berbeda dengan pusat negara, wilayah perbatasan menjadi situs di mana persoalan nasionalisme jadi hitam-putih. Pemakaian uang ringgit di perbatasan dilihat sebagai tindakan a-nasionalistis. Isu pergeseran patok-patok perbatasan, hal yang sebenarnya abstrak bagi sebagian besar publik yang jauh dari perbatasan, mampu membangkitkan emosi nasionalisme yang militan.
Dalam logika kartografis, orang Malaysia berbeda dengan orang Indonesia, terlepas dari fakta banyak komunitas di perbatasan masih berkeluarga atau beretnis sama dengan mereka yang di Malaysia. Sesuatu yang berbeda selalu dilihat sebagai ancaman dan nasionalisme tidak mengenal ambivalensi.
Realitas sosial-budaya
Sementara realitas ekologi-sosial-budaya yang dinamis dan cair dilihat dari sudut pandang negara seolah-olah hadir tanpa keteraturan. Alam Kalimantan di perbatasan sepanjang lebih kurang 1.800 kilometer terdiri dari pegunungan, perbukitan, dan hutan primer yang sulit ditaklukkan, bahkan dipetakan. Berbagai patok perbatasan semen yang dibuat pemerintah selama 1970-an telah hilang tak berbekas karena ’dikalahkan’ oleh alam, seperti tertutup semak belukar, terkubur humus, atau retak karena desakan akar pohon.
Komunitas-komunitas masyarakat di pedalaman telah ratusan tahun beradaptasi dengan kondisi ekologi setempat. Pola mobilitas seperti perpindahan kampung, siklus perladangan gilir balik maupun pemanfaatan hasil hutan, budaya merantau untuk menukar hasil hutan dengan komoditas pantai, dan orientasi sosial berbasis sungai adalah hasil adaptasi banyak kelompok etnis Dayak yang sering kali dipandang negatif oleh negara.
Terdapat banyak bukti bahwa orientasi ruang masyarakat perbatasan ke luar NKRI bukanlah karena ’lunturnya rasa nasionalisme’ atau ’daya tarik negara tetangga’, tetapi justru terbentuk karena formasi alam yang menentukan keberlangsungan hidup sebuah komunitas. Mobilitas manusia sering terbentuk karena rantai komoditas yang selalu mencari jalur terpendek dari daerah suplai ke pasar, terlepas apakah formasi alam ini ’patuh’ pada teritorialitas negara atau tidak.
Penelusuran sejarah proses terciptanya perbatasan formal antara Indonesia dan Malaysia membawa kita pada logika pragmatis di belakang kebijakan pemerintah kolonial Inggris dan Belanda. Ketika garis perbatasan ditetapkan melalui Konvensi London, Juni 1891, para perunding sadar, garis yang mereka tetapkan masih bersifat tentatif.
Selama tahun 1920-an, Inggris dan Belanda menyadari, penetapan garis batas di atas alam Kalimantan yang begitu bervariasi tidaklah mudah dan beberapa penyesuaian lokal disepakati. Ini ilustrasi bahwa pada era kolonial, persoalan perbatasan bisa didekati secara pragmatis, lokal, dan bisa disesuaikan dengan realitas sosial masyarakat. Ini sesuatu yang bisa jadi pelajaran bagi perumusan kebijakan pembangunan perbatasan ke depan.
Halaman depan yang baru
Paradoks perbatasan negara yang dibahas di atas menunjukkan bahwa ideologi atau pemahaman ruang berbasis kartografis menyulitkan negara dalam melihat persoalan perbatasan dengan jernih. Sebuah looking glass yang menyulitkan negara dalam memahami kompleksitas perbatasan yang memiliki logika ruangnya sendiri. Menjadi ironi ketika Belanda dan Inggris, sebagai pihak yang ’mengarang’ perbatasan Indonesia-Malaysia, tidak memperlakukan perbatasan secara sakral seperti Indonesia-Malaysia yang mewarisinya.
Wacana alternatif yang melihat perbaikan pelayanan sosial di perbatasan sebagai kunci penguatan keindonesiaan perlu diperkuat. Negara perlu memikirkan ulang definisi maupun metodologi pendekatan yang senantiasa melihat perbatasan secara hitam-putih, absolut, dan totalitarian. Pemahaman tentang dinamisme wilayah perbatasan akan jadi dasar yang kuat bagi formulasi kebijakan perbatasan yang manusiawi, sesuai kebutuhan masyarakat perbatasan.
Wilayah perbatasan hendaknya tak lagi diperlakukan sebagai ruang demarkatif, tetapi harus ruang antarmuka sosial di mana kosmopolitanisme masyarakat perbatasan hendaknya dilihat sebagai kekuatan untuk membangun halaman muka NKRI yang sejahtera dan kosmopolit. Ini adalah ’benteng’ nasionalisme yang lebih substantif ketimbang pendekatan yang parokial, dogmatis, didaktik, dan kosmetik.
Oleh: Dave Lumenta Pemerhati Sejarah Sosial Perbatasan; Pengajar pada Departemen Antropologi, FISIP UI

Warga Perbatasan Kaltim Sering Dipukul Tentara Malaysia

Warga pedalaman Kalimantan Timur di Kecamatan Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur, kerap mendapat perlakuan tidak pantas bahkan dipukul oleh oknum tentara Malaysia di Bakalalan, Sarawak, yang berbatasan dengan perkampungan mereka.

Carolus Tuah, Direktur Eksekutif Pokja 30, yang aktif melakukan advokasi HAM dan antikorupsi di Samarinda, Selasa (18/10/2011), mengaku, banyak kasus kekerasan dan tindakan intimidasi menimpa warga Krayan yang didominasi etnis Dayak Lundaya.

Daerah tersebut terisolasi dan masyarakat setempat hanya memiliki akses berbelanja ke Bakalalan dan Bario di Sarawak. Krayan hanya bisa dijangkau dengan pesawat terbang perintis.

Terhadap informasi tersebut, Menteri Pertahanan Malaysia Dato' Seri Ahmad Zahid Hamidi dalam jumpa pers, Senin (17/10/2011), terkait patok perbatasan di Jakarta, meminta bukti konkret kalau ada penganiayaan terhadap WNI oleh oknum tentara Malaysia di Bakalalan.

"Silakan sebutkan siapa nama pelaku, pangkat, dan kapan peristiwa kekerasan terjadi. Saya tidak akan memberi toleransi dan akan langsung mengambil tindakan," kata Menhan Malaysia.

Pingsan dipukul
Dihubungi terpisah, Camat Krayan Samuel ST Padan mengaku, kekerasan yang terakhir berupa pemukulan hingga pingsan terjadi pada warga bernama Lepinus.

"Dia pulang belanja di Bakalalan, kemudian diajak ke warung oleh oknum askar Malaysia. Sewaktu dia pergi, tiba-tiba dikejar lalu dipukul sampai pingsan oleh oknum askar (tentara dalam bahasa Melayu). Dia divisum di Puskesmas Krayan, selanjutnya dibawa ke Rumah Sakit di Tarakan. Sampai sekarang tidak jelas kasusnya," kata Samuel.

Samuel mengaku sudah mengirim surat resmi ke Bupati Nunukan (ketika itu dijabat Achmad Hafidz). Namun, sampai kini tidak jelas kelanjutan penanganan kasus itu. Carolus Tuah yang asli pedalaman Kalimantan Timur mengaku, kasus kekerasan kerap menimpa warga pelintas batas tradisional ke Sarawak.

"Biasanya pelaku bukanlah askar tempatan (prajurit warga lokal Sabah atau Sarawak). Yang biasa berlaku keras adalah oknum askar dari Semenanjung," kata Tuah.

Selama ini, pos perbatasan resmi tidak kunjung dibangun oleh Pemerintah Indonesia di Long Bawan-Bakalalan sejak terakhir Kompas berkunjung ke Krayan tahun 2003. Padahal, daerah tersebut memiliki produk unggulan beras organik padi adan yang dijual di Malaysia sebagai beras Bakalalan dan juga dikonsumsi Sultan Brunei.

Kepala Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Kaltim Adri Paton yang dihubungi mengatakan, untuk membuka isolasi, tahun depan landasan di Bandara Datah Dawai, Kabupaten Kutai Barat, Long Nawang, di Kabupaten Malinau dan Long Bawan di Kabupaten Nunukan akan diperpanjang.

"Kita juga berharap ada pos perbatasan resmi seperti di Long Bawan untuk memudahkan masyarakat beraktivitas," ujar Paton. Paton enggan berkomentar soal keluhan warga atas tindak kekerasan yang dilakukan oknum tentara Malaysia di Bakalalan.

http://regional.kompas.com/read/2011/10/18/08173751/Warga.Perbatasan.Kaltim.Sering.Dipukul.Tentara.Malaysia

Rabu, 19 Oktober 2011

Warga Perbatasan "Caplok" Wilayah Malaysia

JAKARTA -- Jika belum lama ini ramai diisukan ada wilayah RI di perbatasan Camar Bulan yang dicaplok Malaysia, yang terjadi ternyata malah sebaliknya. Berdasarkan hasil investigasi di lapangan oleh tim Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), justru wilayah Malaysia yang "dicaplok" oleh warga RI di perbatasan di Camar Bulan.

Kapuspen Kemendagri, Reydonnyzar Moenek menjelaskan, temuan tersebut merupakan hasil pengecekan lapangan oleh tim BNPP yang dilakukan 13 hingga 15 Oktober 2011. Tim datang untuk mengecek isu yang berkembang bahwa ada warga desa Temajuk yang menggarap lahan yang masuk wilayah Malaysia.

"Dan ternyata, berdasarkan hasil pengecekan, terdapat hampir 140 orang peladang warga desa Temajuk yang menggarap lahan kurang lebih 160 hektar di wilayah Malaysia. Tepatnya di segmen luar A88 hingga A156 dan selama ini pihak Malaysia tidak mempersoalkan hal tersebut," terang Reydonnyzar kepada wartawan di kantornya, Rabu (19/10).

Bahkan, kata Donny, salah satu peladang, yang bernama Nurmali, membangun satu unit rumah di wilayah Malaysia itu. Tim BNPP disertai tim dari Bakorsurtanal dan staf Kantor Topografi Daerah Militer Tanjungpura.

Empat isu lain yang dicek, yakni pertama, isu abrasi pantai Camar Bulan. Hasilnya, posisi pilar A1 di Tanjung Datu, meski kena abrasi, masih ditemukan bekas pondasi meski pada saat air pasang, tertutup air. Setelah dicek berdasarkan titik koordinat, pada bekas pilar masih sesuai dengan titik koordinat hasil kesepakatan RI-Malaysia berdasar MoU 1978. "Jadi tidak benar ada pencaplokan," ujar Donny.

Kedua, isu pergeseran suar yang ada di titik A4 ternyata tak terjadi pergeseran. Suar Indonesia yang dibangun Belanda 1908 dan suar yang dibangun RI 2007, masih sangat bagus dan berfungsi, dengan dijaga lima petugas Direktorat Navigasi Kemenhub. Sedang Malaysia sudah membangun dua suar.

Ketiga, tidak ada pergeseran pilar A104. Keempat, isu abrasi Camar Bulan yang dikhawatirkan terjadi pengikisan daratan hingga pilar A104. Setelah dicek, ternyata ombak tak begitu besar dan pantai landai, sehingga tak akan sampai terjadi abrasi. (sam/jpnn) http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=106066

Minggu, 16 Oktober 2011

Jaga Kedaulatan, Warga Bangun Rumah Indonesia di Perbatasan

Metrotvnews.com, Sambas: Rasa nasionalisme yang tertanam di hati warga Indonesia diwujudkan dengan tindakan. Sejumlah warga dari Dusun Camar Bulan dan Tanjung Datuk, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, Ahad (16/10), mendirikan rumah merah putih, tepat di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.

Rumah yang berukuran 2x2 meter persegi dan berdinding kayu serta beratap daun itu didirikan warga di tapal batas Dusun Camar Bulan. Hal itu dilakukan warga agar batas wilayah Camar Bulan tidak diklaim Malaysia. Selain itu, rumah itu sengaja dibuat sebagai penegasan perbatasan.

Warga mengaku akan tetap berjuang mempertahankan batas wilayah dari ancaman klaim Malaysia. Namun, dengan keterbatasan yang mereka alami, warga berharap agar pemerintah pusat lebih serius memperhatikan warga perbatasan.(****) Metrotvnews

Nunukan Daerah Perbatasan

Kabupaten Nunukan merupakan salah satu wilayah perbatasan strategis karena letaknya yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Kabupaten ini memiliki luas sekitar 13.9017,17 km2 terdiri atas sembilan kecamatan yaitu :  Kecamatan krayan, Krayan Selatan, lumbis, sembakung, Sebuku, Nunukan, Nunukan Selatan, Sebatik dan Sebatik Barat serta terletak pada 115° 22’ 30” – 118° 44’ 54 “BT dan 3° 30‘ 00” – 4°24’55” LU dengan batas-batas wilayah sebelah utara Negara bagian Sabah (Malaysia) dan sebelah selatan Kabupaten bulungan dan Malinau. Sebelah Timur Laut Sulawesi dan sebelah barat negara bagian serawak (Malayisa).
Kabupaten Nunukan mempunyai komoditas unggulan berupa; Kakao (coklat), Padi Adan, Kelapa Sawit, Ikan laut dan ikan tambak. Garam gunung dan Wisata alam. Dengan permasalahan khas wilayah perbatasan yang meliputi; Rendahnya aksesibilitas antar wilayah di perbatasan;Timpangnya pembagunan antar wilayah yang berbatasan lamgsung dengan Negara tetangga;Rawan terhadap kegiatan Illegal Logging, Fishing, Traficking dan penyelundupan Narkoba ataupun bahan berbahaya lainnya; Masih minimnya sarana dasar, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik dan telekomunikasi dan  Kondisi geografis yang berbukit-bukit, sangat menghambat proses pembangunan prasarana wilayah.
Starategi Pembangunan Kabupaten Nunukan, meliputi;Pembangunan infrastruktur, terutama program yang mendukung peningkatan perekonomian dan sumberdaya manusia di wilayah pedesaan, pedalaman dan perbatasan;Revitalisasi Pertanian, yaitu melalui pengembangan sector-sektor pertanian unggulan; Peningkatan akses masyarakat terhadap  pendidikan dan kesehatan yang berkualitas; Penanggulangan kemiskinan, melalui peningkatan pelayanan dasar, seperti pangan, perumahan, kelistrikan dan air bersih;
Peningkatan pemberdayaan masyarakat  pedesaan, pedalaman dan perbatasan serta peningkatan kelembagaan ekonomi masyarakat dan Peningkatan Kinerja Birokrasi Pemerintah sehingga pelayanan prima yang diharapkan oleh seluruh masyarakat dapat segera terwujud.
Dengan prioritas, melaksanakan; Pembangunan perkebunan kepala sawit, Pengembangan dan perluasan percetakan sawah;  Pembangunan infrastruktur wilayah, terutama pembangunan sarana transportasi jalan; Peningkatan akses palayanan dasar, seperti sarana pendidikan, kesehatan, perumahan; listrk dan air bersih;Pengembangan Kota Baru perbatasan di Simenggaris;Pembangunan Pos Lintas Batas Darat dan Laut (PLBD dan PLBL); Pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Nunukan dengan wilayah di daratan Pulau Kalimantan dan  Pemberdayaan masyarakat perbatasan, melalui bantuan permodalan usaha dan pelatihan keterampilan usaha.

Tanah Surga Katanya

Nunukan


Lihat Kabupaten Nunukan di peta yang lebih besar